Pengertian Tentang Lukisan

Title | Tajuk : Pengertian Tentang Lukisan
Magazine | Majalah :  Majalah Mastika
Author | Penulis : Trisno Sumardjo
Date | Tarikh : August 1955
Page | Mukasurat : 28 – 31 & 50

Persoalan tentang lukisan tidaklah habis dengan membeli sebuah gambar, lalu menggantungkannya di dinding bilik. Pembuat lukisan itu berhubungan rapat dengan alam dan masyarakatnya, dan lukisan adalah hasil dari hubungan itu, setelah diolah oleh dunia kebatinan si pelukis. Demikianlah, apa yang terkandung dalam sebuah lukisan itu jauh lebih lagi dari apa yang nampak di mata kepala saja, lebih dari kertas atau kain kanvas yang ditaburi cat beraneka warna. Satu dunia pemikiran dapat terkandung olehnya hasil pekerjaan si pelukis yang mencari mutu-mutu kebatinan. Dari itu untuk menangkap isi kandungan itu kita perlu tak hanya memakai penglihatan mata belaka, tetapi juga penting ialah penglihatan batin.

Hal ini bukanlah suatu keistimewaan pelukis. Hasil-hasil seniman lainnya pun harus kita dekati dengan mata batin juga: tarian-tarian, musik, sandiwara (seni drama), filem, seni sastera, dan lain-lain. Semuanya merupakan cabang-cabang kesenian yang dasarnya sama, iaitu rasa seni. Untuk menciptakan dan merasakan kesenian, kita mesti mempunyai rasa seni ini. Kalau tidak, tak akan dalam pandangan dan tak akan penuhlah penghargaan kita. Rasa seni yang sudah perlu bagi penerima itu (penonton, pendengar, dan lain-lain), lebih-lebih lagi perlu bagi pencipta seni – iaitu seniman.

Apakah rasa seni ini dapat diperoleh dengan ajaran-ajaran? Umumnya orang mengatakan bahawa seniman itu ada kerana dilahirkan, tidak kerana pelajaran. Dengan perkataan lain: siapa tidak mempunyai bakat, dia tidak akan dapat menjadi seniman. Pokok ucapan ini memang benar. Ada persamaannya dengan pokok ucapan bahawa ada orang yang berbakat teknikus, pedagang, dan sebagainya. Dan seniman tak beda dengan mereka itu. Ia bekerja seperti drebar, atau petani bekerja. Ia menghasilkan sesuatu dan dibayar seperti orang lain pun mendapat upah untuk jerih-payahnya. Namun ada suatu perbedaan: hasil kerjanya ada kalanya dimasukkan dalam muzium. Apa sebabnya?

Marilah kita dekati sebuah lukisan. Apa yang nampak? Orang duduk barangkali, atau pemandangan di pergunungan, sungai, pohon-pohon, batu, botol dan sebagainya. Fikiran penonton seringlah begini: “Alangkah pandai dia menggambar orang itu, serupa benar dengan orang hidup: matanya, hidungnya memang begitu. Pemandangan di gunung itu pun memang betul-betul demikian aku lihat sendiri waktu bertemasya ke sana.” Lalu datanglah kehairanannya akan kepandaian si pelukis.

Sampai sinilah biasanya kelihatan penonton. Tapi kalau setakat ini saja, sama patutnya kita kagumi kepandaian teknik membuat mesin, kepandaian drebar memandu motorkaran, kepandaian doktor menyembuhkan orang sakit. Artinya penghargaan itu baru sampai pada penghargaan terhadap pekerjaan seseorang. Dan kepandaian dalam banyak ragam pekerjaan ini dapat dimiliki oleh setiap orang yang cukup rajin, meskipun kesanggupan orang tak sampai tingkatnya, tergantung dari kecerdasan otaknya, dari tinggi bakat dan pendidikannya dari sesuatu pekerjaan.

Begitu juga dalam hal melukis, kita dapat menguasai kejuruan dengan jalan belajar. Kita belajar menggambar manusia sampai serupa, melukis botol betul-betul seperti botol. Untuk itu ada sekolah-sekolah yang mendidik juru gambar atau guru gambar, ada akademi-akademi seni rupa (lukisan) yang memberi kecekapan melukis bagi siapa yang mahu menjadi seniman komersial, seniman bebas dan lain-lain. Tapi kejuruan ini tak cukup untuk menentukan orang menjadi seniman. Kejuruan menjamin kepandaian teknik, tapi ini bukan satu-satunya syarat untuk mencipta kesenian.

Kalau untuk menjadi seniman sudah cukup kepandaian mempergunakan dan mencampur cat, mengendalikan pensil di atas kanvas, mempunyai kelimuan tentang anatomi dan perspektif, maka dunia akan kebanjiran seniman semua! /ms 29/ Setiap orang lulusan akademi akan boleh membanggakan diri sebagai seniman.

Yang sebenarnya ialah bahawa seniman dilahirkan oleh kandungan ibunya dan tidak oleh sekolahan. Sekolahan, betapa pun teknik sempurna atau tidak – serta ilmu pengetahuan yang bertalian dengan XXX betul murid-murid beroleh kesempatan bagus untuk melatih diri di situ di bawah pemimpinan ahli-ahli dan bukan mustahil bahawa selama menuntut pelajaran itu sudah kelihatan ia mempunyai bakat atau tidak. Tetapi biasanya akademi-akademi itu hanya merupakan perbekalan kejuruan bagi calon seniman untuk memperkembang bakatnya selanjutnya di tengah-tengah masyarakat ramai. menghasilkan seni lukis menghendakki ketabahan, dan mungkin orang yang berbakat pun tak diakui oleh sejarah bangsanya.

Dari itu, kecekapan teknik tadi sering dipakai orang untuk mencari nafkahnya sebagai pembuat iklan, poster, penghias buku-buku dan sebagainya, di samping bekerja sebagai seniman yang acapkali benar tak dapat hidup dari hasil seninya. Sewaktu di akademi pun ia sering telah menentukan hari depannya dengan memilih mata pencarian untuk menjadi artist komersial (tidak lagi untuk kesenian).

Jadi, lain daripada misalnya sekolah doktor atau sekolah engineer yang menjamin title itu kepada seseorang yang lulus ujian penghabisan, maka akademi kesenian tidak mungkin menjamin akan adanya pemegang diplomanya yang oleh kerana diploma itu saja sudah menjadi seniman. Apakah yang menyebabkannya?

Kita kembali kepada soal bakat. Kita kembali pada rasa seni. Tak setiap manusia mempunyainya. “Darah” orang berlainan, kata orang. Secara r-w-n-t-y-s-nya, orang mengatakan bahawa harus ada “panggilan darah”. Secara nature, kami katakan bahawa tiap orang mencari kebahagiaannya. Siapa merasa bahagia menjadi pelaut, jadilah pelaut. Siapa merasa bahagia dengan melukis, melukislah. Secara sosial, dapat dikatakan bahawa hal ini adalah soal mencari kegembiraan dalam kerja.

“Perempuan Tua” oleh Syahri. Lukisan ini bercorak expresif bentuk detailnya agak menyimpang dari “keadaan nyata”.

“Perempuan Tua” oleh Syahri. Lukisan ini bercorak expresif bentuk detailnya agak menyimpang dari “keadaan nyata”.

Permasalahan-permasalahan dalam kehidupan menimbulkan sesuatu yang “tak kelihatan”, yang “abstrak”. Namun ada dalam diri tiap-tiap manusia, yakni fikiran, rasa, khayalan dan lainnya. Berfikir, merasa, berkhayal terjadi tiap-tiap hari, dilakukan oleh anak-anak sampai orang tua. Kesenian menambahkan sesuatu di dalamnya sebagai kecucusannya, yakni rasa seni. Sulitlah untuk menerangkan apa rasa seni ini dan di mana batasnya dengan rasa tak berseni. Biasanya orang mesti berlatih bertahun-tahun lebih dulu untuk melihat /ms 30/ perbedaan antara hasil-hasil tak berseni, dan sekalipun susah begitu jauh belum juga pendiriannya selalu benar. Perselisihan faham tentang seni tak faham-faham di dunia! Tapi kami cuba juga mendekati pengertian rasa seni ini, asal saja orang mengerti bahawa XXX kami inipun tidak sempurna.

Kita bertolak dari pengertian bahawa sebuah lukisan adalah pengucapan batin. Kalau cuma merupakan kejuruan saja, dia “mati” atau kosong. Lukisan mesti “hidup” atau berisi. Isi ini datang dari batin pelukis, terpancar dari lukisannya, lalu dari situ ditampung oleh batin penonton. Kalau penampungan ini terjadi, berarti bahawa penonton “mengerti” lukisan itu. Kalau tidak, ia tidak “mengerti”. Jadi, belakangan apa-apa yang konkrit, yang dapat diraba itu ada getaran kebatinan yang “tak dapat dilihat” (abstrak), tak teraba. Dan inilah memberi nilai tertinggi pada lukisan itu. Dari mana datangnya?

Pelukis menangkapnya dari keadaan di sekitarnya atau dari dalam dirinya sendiri, mengolahnya dengan tenaga batinnya, lalu mewujudkannya dalam bentuk konkrit tadi. Macam-macam perasaan yang pernah dialaminya boleh jadi kita jumpai dalam lukisannya: rasa senang, rasa kecewa, gelisah, marah, gembira, sedih. Pengalamannya dalam persentuhannya dengan masyarakat dan alam. Pengalamannya sebagai anak muda, sebagai orang tua, sebagai buruh, semuanya mungkin kita ketemukan. Tambahkan ke situ tangkapannya tentang pengalaman orang lain yang terangkum dalam rasa kasihan, rasa kebanggaan dan lain-lain. Tambahkan pula keinginannya sendiri untuk merubah sesuatu keadaan, dibumbui dengan inteligensi dan fantasi. Maka tak terbilang banyaknya perasaan yang bisa dituangkannya dalam bentuk seni.

“Gadis Mandi di Perigi” lukisan oleh Kamsani.

“Gadis Mandi di Perigi” lukisan oleh Kamsani.

Demikianlah, di belakang bentuk-bentuk konkrit, seperti gunung atau botol atau manusia yang dilukisnya, kita dapat menemui dunia “abstrak” tersendiri itu. Ini menyebabkan mengapa gunung itu bukan hanya /ms 31/ “rupa” gunung saja, botol itu bukan sebarang botol, dan manusia bukan habis ceritanya setelah nampak jasmaninya belaka.

Bentuk-bentuk lahir itu sering hanya pengantar, sekadar untuk menyampaikan inti yang berbatin, sering diabaikan pula, hingga dengan sengaja tak dibikin serupa dengan modelnya. Apa lagi dalam hasil-hasil seni lukis modern, banyaklah bentuk-bentuk yang “tidak karuan”, keanak-anakan, sama sekali tidak seperti apa yang disebut keadaan nyata.

“Keadaan nyata” ini dipakai orang sebagai ukuran yang menganggap bahawa lukisan yang bagus mesti seperti foto (gambar). Padahal, lukisan bukanlah foto dan persamaan bentuk bukanlah syarat yang harus dipenuhi. Bentuk-bentuk “keadaan nyata” boleh ditundukkan untuk menyatakan pengucapan batin. Dalam bentuk yang “tidak karuan” mungkin terkandung batin yang tinggi mutunya.

Sekadar sebagai perbandingan, dapat kami peringatkan bahawa pemecutan bentuk itupun sudah lama dikenali oleh bangsa Indonesia. Perhatikan saja hasil kesenian warisan daerah, misalnya wayang kulit yang banyak menyimpang dari bentuk badan manusia biasa. Yang dikemukakan dalam wayang kulit itu ialah pernyataan kebatinan tokoh-tokoh yang dimaksudkan: kehalusan budi pekerti pada satria, kekerasan dan keganasan pada tokoh yang jahat, misalnya raksaksa yang menjadi musuh satria. Perbandingan lain ialah seni tari. Dalam gerak-geri penari, tidak lagi kita lihat “keadaan nyata”, yakni sudah menyimpang dari gerak-geri orang biasa sehari-hari. Itupun guna memberi pernyataan bagi isi kebatinan tarian itu.

Reaksi umum lainnya ialah mengapa “cuma gambar saja” dibayar ribuan rupiah? Hendaknya kita insaf bahawa pengucapan batin bukanlah soal yang mudah. Sebetulnya penghargaan wang itu pun bukan tujuan seniman sejati. Ia melukis dengan suatu pertaruahn yang pada hakikatnya tak dapat dibayar; ialah pertaruhan kemanusiaannya. Dengan rasa kemanusiaannya ia menyeri sari-sari penghidupan, ia mengecam atau memuji dengan perbendaharaan kemanusiaan yang ada padanya. Sari-sari itu ia mencuba menuangkan dalam kebenaran yang dianutnya. Dan dalam mencari kebenaran ini ia terdorong oleh keinginan hendak bekerja menurut segala perasaan yang dipupuknya selama mendapat pengalaman. Untuk bekerja itu, ia tak disuruh oleh siapapun juga, kecuali oleh dirinya sendiri. Ia melukis kerana ia menghendakki penyaluran keinginan itu dalam lukisan. Seperti seorang ibu mempunyai keinginan mengasuh anaknya. Seperti kehendak orang pergi ke tandas untuk menyalurkan sesuatu yang harus dikeluarkan. Sesudah penyaluran itu, baru terasa kelegaan. Dalam hal itu, pekerjaan seniman, pada hakikatnya, tidak diperlukan oleh masyarakat secara langsung. Pekerjaannya adakalanya disebut orang itu asosial, sebab tak memenuhi kehendak khalayak. Dan ini sebabnya mengapa khalayak biasanya tak mengacuhkan atau tak mengerti pekerjaan seniman.

Tapi dalam sifat pekerjaan yang dikatakan “terasing” dari khalayak ini, ia membuat sesuatu yang berharga. Ia mencatit sari penghidupan manusia sezamannya, atau mengangkatnya kepada idaman-idaman yang memuliakan sari-sari itu. Ia adalah penemu apa-apa yang kadang-kadang tersimpan dalam diri kita sendiri, penemu apa-apa dalam pangkuan alam. Kadang-kadang ia membarui pandangan kita. Dengan begitu, ia mengajak kita berfikir, mungkin untuk memperbaiki nasib kita sendiri. Dalam hal itu, ia toh mempunyai tugas sosial, sungguhpun boleh jadi tak kita sedari. Seniman besar bahkan sanggup mempelopori masyarakat atau dunia dalam hal menemukan falsafah baru, kemanusiaan baru dan kehidupan baru. Tetapi itu jarang sekali dan hanya tercapai oleh yang betul-betul berjiwa besar. Umumnya cukuplah bila hasil kerja seniman sanggup memberi kesenangan pada kita dan menimbulkan haru-haru yang dapat kita nikmati.

Dengan sengaja tak kami sebut bahawa kesenian itu mencari apa yang disebut “keindahan” sebagaimana lazimnya dikatakan orang jika menghadapi hasil seni. (sambungannya di muka 50) /ms 50/ Sebabnya ialah kerana pada perkataan “keindahan” ini melekat prasangka bahawa yang dilukis mestilah yang cantik-cantik belaka. Dan itu sama sekali tidak benar, bahkan sering salah digunakan oleh kaum abunturir untuk mengabdikan lukisan pada pengejaran keuntungan benda belaka, kerana umum senang sekali melihat kecantikan, apa lagi kalau yang cantik itu gambarnya sendiri.

Lebih baik kita katakan saja bahawa seniman bekerja menurut kehendak yang disebut tadi dan benar-benar merupakan kehendak fitri (nuture/nature). Dengan melalui perkembangan kebatinannya ia dengan begitu menciptakan sesuatu secara jujur. Maka dengan kejujuran ini ia sampai pada kebenarannya. Kebenaran ini subjektif dan objektif sekaligus. Subjektif kerana ia tetap berbicara sebagai manusia tertentu yang mencari kebahagiaan kemanusiaan, dan objektif kerana ia tetap memberi kelonggaran berbicara kepada objek-objeknya, baik objek yang bernyawa maupun tidak. Oleh gabungan kedua-duanya timbul peraduan-peraduan yang bercorak perseorangan dan mungkin juga kebangsaan.

Sebab dari buah tangannya kita kenal penciptanya. Corak lukisan adalah corak watak pelukisnya, perangainya, sikap hidupnya dan sebagainya yang merupakan peribadinya. Lukisan dapat menceritakan hal-hal itu semua yang merupakan ciri individual si pelukis. Kejujuran akan dapat terlihat, begitu pula kepalsuan dan kebohongan. Untuk ini perlu ada kritikus-kritikus yang bertindak sebagai pengantar dan penyaring antara seniman dan masyarakat. Berisi atau kosong, berwatak atau tidak lukisan itu tergantung dari keperibadian penciptanya. Lukisan adalah pencerminan manusianya dan rasa kemanusiaannya. Kecuali pencerminan individu ini, lukisan pun mempunyai corak kebangsaan pelukis sampai batas tertentu. Dalam kebudayaan sesuatu bangsa yang sedang berkembang penuh dan mempunyai adat resam teguh, kita segera dapat melihat bahawa suatu lukisan China kuno kita segera mengenal asalnya. Begitu pula tarian-tarian Bali, musik Jawa, dan sebagainya. Bagaimana corak keIndonesiaan dalam seni lukis modern kita? Kami belum berani menyatakan dngan tegas, kerana seni lukis ini masih muda, sehingga kemungkinan-kemungkinan masih banyak ragamnya.

Tapi mudah-mudahan yang sudah terang ialah bahawa dalam lukisan yang bagus itu terlingkup beberapa sari kemanusiaan, kemasyarakatan, kealaman, sari penghidupan sesuatu zaman. Maka dengan begitu, ia merupakan hasil kebudayaan yang tertentu. Itu sebabnya ia patut dimasukkan dalam sekolah gambar sebagai hasil kebudayaan bangsa yang mempunyainya.

Comments are closed.